Sabtu, 21 Mei 2011

masalah sosial dalam fiqih muamalah

I. MASALAH TERKAIT HUKUM MLM
Hukum Dasar dari sistem MLM
Suatu perusahaan pada dasarnya didirikan bertujuan untuk mendapat keuntungan setinggi-tingginya dengan sejumlah modal tertentu yang diinvestasikan. Keuntungan ini haruslah didapat dengan cara yang halal, tidak beroperasi dengan cara riba, tidak ada indikasi gharar (penipuan), dan lain-lain. Pada perusahaan MLM sistem pemasaran yang dilakukan adalah dengan sistem berjenjang yang melibatkan anggota-anggotanya, sehingga jalur distribusi diperpendek. Dengan jalur distribusi diperpendek, maka diharapkan sebagian keuntungan dari produk / jasa dapat masuk ke anggotanya. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam urusan transaksi, selama MLM itu bersih dari unsur terlarang seperti riba, gharar, dharar dan jahalah. MLM sendiri masuk dalam bab Muamalat, yang pada dasarnya mubah atau boleh. Merujuk kepada kaidah Qowaid fiqh yaitu Al-Aslu fil Asy-yai Al-Ibahah (Syarwat, 2009). Hukum segala sesuatu itu pada asalnya adalah boleh. Dalam hal ini maksudnya adalah dalam masalah muamalat. Sampai nanti ada hal-hal yang ternyata dilarang atau diharamkan dalam syariah Islam. Misalnya bila di dalam sebuah MLM itu ternyata terdapat indikasi riba`, misalnya dalam memutar dana yang terkumpul. Atau ada indikasi terjadinya gharar atau penipuan baik kepada down line ataupun kepada upline. Atau mungkin juga terjadi dharar yaitu hal-hal yang membahayakan, merugikan atau menzhalimi pihak lain, entah dengan mencelakakan dan menyusahkan. Dan tidak tertutup kemungkinan ternyata ada unsur jahalah atau ketidak-transparanan dalam sistem dan aturan. Oleh karena itu menurut penulis, seseorang tidak bisa langsung menuduh bahwa perusahaan MLM itu halal atau haram, sebelum diperiksa hati-hati dengan pendekatan analisis syariah.
Ada prinsipnya semua usaha bisnis, termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syari’ah Islam termasuk kategori muamalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (penjualan). Al Buyu’ adalah dalam bentuk jamak dari al-ba’i yang merupakan kata dasar penjualan, sedangkan menjual (pria) adalah yabii’ (Munawwir dan Muhammad, 2007:368). Selanjutnya Bassam (2010:699), mendefinisikan al-ba’i dalam terminology bahasa adalah mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu. Mereka telah mengambil sesuatu dari penjual yang mengukurkan tangannya baik dengan tujuan untuk akad atau menyerahkan sesuatu yang telah disepakati harga dan barangnya. Lafazh al Ba’i juga digunakan pada pembelian dan ini merupakan lawan kata, begitu pula dengan syira (pembelian) juga termasuk lawan kata. Definisi secara istilah adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki yang ditunjukkan melalui sighat berupa ucapan dan perbuatan.
Hukum awal secara prinsip dari seluruh transaksi muamalah, bermacam-macam jenis perdagangan dan sumber penghasilan adalah halal dan boleh, dan tidak ada boleh yang melarangnya kecuali yang telah diharamkan oleh Allah dan rasulnya (Bassam, 2009:700). Berikut dalil dari jual beli (Al-Albani et al, 2010:371) :
a. Dalil Al Quran :
: … “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah:275).
: …”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli… ( Al Baqarah : 282)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa’:29)
b. Dalil dari As Sunnah
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai hak pilih (untuk mengesahkan transaksi atau membatalkannya) atas pihak lain selama belum berpisah, kecuali jual beli khiyar (kesepakatan memperpanjang masa hak pilih sampai setelah berpisah). (Shahih Muslim No.2821)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang muslim menawar atas penawaran saudaranya. (Shahih Muslim No.2788)
Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.:
 Dari Nabi saw. beliau bersabda: Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No.2825)
 Demikian dalil dasar mengenai jual beli, dan masih banyak lagi dalil yang membolehkan jual beli, termasuk perusahaan MLM. Namun demikian nilai jual beli ini juga harus memenuhi unsur syariah yaitu bebas dari unsur-unsur haram di antaranya (Utomo, 2009) :
 Riba (Transaksi Keuangan Berbasis Bunga); Dari Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375.
 Gharar (Kontrak yang tidak Lengkap dan Jelas); Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli gharar”. (HR. Muslim 1513)
 Tadlis/Ghisy (Penipuan); Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)
 Perjudian (Maysir atau Transaksi Spekulatif Tinggi yang tidak terkait dengan Produktivitas Riil); Firman Allah Taala: “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung.” (Al-Maidah: 90)
 Zhulm (Kezhaliman dan Eksploitatif). Firman Allah surat An-Nisa:29 :
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kajian Kholid (2009:33) juga menyatakan terdapat beberapa kelemahan dalam sistem piramid ini. Pertama adalah ia menemukan bahwa sistem ini tidak akan langgeng atau kontinyu, karena akan menemukan antiklimaks dan kemudian berhenti. Apabila ia berhenti maka level terbawah adalah yang rugi sedangkan level masih untung banyak. Padahal jumlah orang yang terlibat dalam level bawah lebih banyak daripada level atas.
Oleh karena itu ia menyatakan bahwa sistem MLM ini pada dasarnya adalah tadlis (penipuan) dan taghrir (sesuatu yang memperdaya), serta jual beli semu pada mayoritas anggota, untuk kesejahteraan minoritas up line dan pemilik perusahaan.
Pada table yang penulis pernah temukan di internet terlihat bahwa anggota MLM pada level 1, jumlah member 4, maka total bonus yang didapat Rp. 20.000. Kemudian pada level 5 misalnya, jumlah anggota 1024 maka bonusnya adalah Rp. 5.120.000, dan selanjutnya pada level 16 jumlah anggota mencapai 4 milyar, atau sekitar ½ lebih penduduk bumi, hingga pada level 17 jumlah anggota mencapai 17 milyar (dengan bonus sekian trilyun), yang tentu saja belum mencapai penduduk bumi, yang artinya bisnis ini akan berhenti. Apabila ini terjadi maka down line terbawah tidak dapat mereliasasikan mimpi-mimpi mereka, tetapi yang sangat beruntung adalah level yang lebih dulu masuk atau segelintir level atas. Apakah ini tidak terfikirkan bahwa pasti ada level bawah yang tidak beruntung dibandingkan dengan level atas ? Lalu apakah Fulan yang berada di level atas (pada saat perusahaan MLM tutup) tenang-tenang saja, dengan berkata bahwa “Salah sendiri kenapa baru masuk jadi anggota setelah kita sudah kaya ?” Lalu, bagaimana dengan janji yang telah ditanamkan, bagaimana dengan sejumlah dana yang telah disetorkan padahal level bawah belum menikmati keuntungannya, sedangkan bisnis telah berhenti karena tidak ada anggota lagi di muka bumi ? Kholid menyatakan bahwa bila sudah diketahui bahwa skema piramid akan berhenti suatu saat, maka pada hakekatnya MLM ini adalah judi. Sebab setiap orang akan berlomba untuk masuk ke dalam sistem ini untuk mendapatkan keuntungan, sebelum hancurnya skema piramid ini.
Analisis yang dilakukan penulis menyatakan bahwa table tersebut adalah berlebihan, karena tidak masuk akal dan tidak diberikan informasi yang jelas mengenai peluang keberhasilannya. Bagi orang yang berpendidikan dan pengalaman maka table ini hanyalah tambahan informasi yang bisa dicek kebenaran dan peluang keberhasilannya yang sangat kecil. Namun bagaimana dengan calon anggota yang (maaf) kurang berpendidikan dan tidak pengalaman ? Ini sangat berbahaya dan memalukan, karena ini membuat calon tersebut masuk menjadi anggota dan tidak sempat lagi berfikir lama, yang penting masuk dulu dan akan sukses. Padahal jalan menuju sukses tersebut kecil peluangnya dan ada hal-hal yang mustahil realisasinya. Jalan terbaik adalah perusahaan MLM tersebut memberikan table yang jelas, jumlah anggota yang mungkin dapat berhasil beserta keterangan mengenai peluang keberhasilannya.
Kedua adalah mengenai harga produk yang dicurigai tidaklah senilai dengan harga sesungguhnya. Karena diduga kuat 1/3 dari harga tersebut adalah bersih telah disetorkan kepada perusahaan, sedangkan bagian yang tersisa yaitu 2/3 diberikan kepada upline dan merupakan janji-janji yang yang ada di masa yang akan datang bila ia (calon down line dan down line) menjadi up line tersebut. Misalnya pada MLM “B” mengakui bahwa pada harga produk Rp.100.000, maka Rp. 33.000 adalah untuk perusahaan, sedangkan Rp. 77.000 digunakan sebagai operasional perusahaan dan pemberian bonus kepada para anggota yang dianggap sebagai marketing, distributor sekaligus konsumen. Benarkah demikian ? Menurut penulis tidak semua perusahaan MLM seperti ini, jadi harus dilihat kasus demi kasus. Analisis diatas adalah kasus yang dialami oleh perusahaan MLM “B”, dan ini belum tentu dilakukan oleh perusahaan MLM lain. Oleh karena setiap kasus yang berhubungan dengan mark up harga adalah berbeda satu dengan yang lain. Misalnya perusahaan MLM “V” yang mempunyai produk unggulan pembalut wanita, yang diklaim berasal dari herbal, alami, dengan aroma jamu, bukan berasal dari bahan-bahan sampah atau pemutih kimia berbahaya, serta mampu mencegah kanker serviks. Harga 1 bungkus berisi 10 buah adalah Rp. 32.000, sedangkan harga member adalah Rp. 26.000. Harga pembalut biasa Rp. 3000 berisi 5 atau Rp. 6000 berisi 10.
Bila diperhatikan harga yang diberikan cukup wajar. Silakan amati Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Perbandingan antara Pembalut R dan Pembalut V (sistem MLM)
No Jumlah Harga Khasiat Keterangan
Pembalut R (non MLM ) 10 / 2 Bungkus Rp. 6000,- Pembalut saja, murah Ada izin DepKes, kemasan baik, aroma netral, merk terkenal, pemakaian 5 buah / hari. Pemakaian Rp. 3000 / hari
Pembalut V (MLM) 10 / bungkus Rp. 26.000 Pembalut, diclaim dapat mencegah kanker serviks, aroma jamu, nyaman ada rasa mint sehingga terasa segar di daerah pribadi wanita*. Darah nifas cepat berhenti setelah melahirkan Ada izin DepKes, Kemasan baik, aroma jamu herbal, merk baru terkenal, ramah lingkungan, ada keuntungan anggota, pemakaian : 2 buah / hari. Pemakaian Rp. 5200,- / hari
*Sumber : Wawancara singkat dengan beberapa pengguna
Pada Tabel 1. diatas terlihat bahwa produk MLM tersebut memiliki khasiat yang lebih baik dibandingkan dengan produk biasa, sehingga wajar bila dijual dengan nilai lebih mahal dibandingkan dengan produk biasa, dengan khasiat biasa dan diduga berbahaya bagi kesehatan. Kata ‘mahal’ tersebut adalah relatif dan pada kasus diatas mahalnya barang MLM di atas tidak lebih dari 2 kali dari barang non MLM, sehingga penulis anggap sesuatu yang wajar. Apakah Anda mau menukar kesehatan pribadi istri Anda dengan barang yang lebih murah Rp. 20.000 / bulan ? Begitu kira-kira promosi anggota MLM tersebut. Analisis tersebut menyatakan bahwa tidak semua barang MLM mempunyai harga yang menipu atau harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan barang non MLM, sehingga harus dilihat dari kasus per kasus.
Ketiga peluang untuk menjadi leader adalah kecil walau dirasa ada kemungkinan. Misalnya bila peluang Fulan merekrut orang baru dan down linenya juga membantu merekrut orang baru adalah sekitar 80%, dan ia mampu merekut 4 orang baru maka kemungkinannya (80%)4 yaitu 0.409. Bagaimana kemungkinan untuk merekrut 18 orang ? Kemungkinannya adalah (80%)18 yaitu hanya 1,8% sehingga nilai tersebut sangat kecil peluang itu terjadi.
Perhitungan tersebut menurut penulis benar jika Fulan melakukan perekrutan anggota dilakukan dengan sendiri-sendiri, tanpa bantuan orang lain, maka dengan asumsi peluang merekrut orang baru dibawahnya 80% (suatu nilai yang sangat tinggi), maka untuk merekrut 4 orang peluangnya menjadi (80%)4 yaitu 0.409. Begitu seterusnya makin banyak direkrut makin kecil peluangnya. Namun ini dengan catatan dilakukan dengan sendiri, dan dibantu dengan down line dibawahnya yang mempunyai peluang 0.8 juga. Namun peluang ini akan semakin besar bila ia melakukannya secara masal, pada acara-acara tertentu yang melibatkan banyak orang, sehingga orang makin percaya dan pada akhirnya terjadi pendaftaran masal. Walaupun kemungkinan untuk menjadi leader adalah sangat kecil, namun orang tetap bersemangat karena terdapat nilai bonusnya yang lebih besar pada level di atasnya.

MLM Menurut fiqih muamalah
Beberapa dekade belakangan ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang atau dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM) semakin berkembang pesat di tanah air. Perusahaan MLM adalah perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Konsep perusahaan ini adalah penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan keuntungan di dalam garis kemitraannya. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula disebut sebagai distributor atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang lain untuk menjadi anggota pula sehingga jaringan pelanggan/pasar semakin besar/luas, itu artinya mitraniaga telah berjasa mengangkat omset perusahaan. Atas dasar itulah kemudian perusahaan berterimakasih dengan bentuk memberi sebagian keuntungannya kepada mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif berupa bonus, baik bonus bulanan, tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.
Konsep MLM pertama dicetuskan oleh NUTRILITE sebuah perusahaan AS pada tahun 1939. Saat ini MLM di seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar 10.000 an, di Indonesia jumlah MLM yang ada mencapai jumlah 1500an. Menurut data di internet, menunjukkan bahwa setiap hari muncul 10 orang millioner/ jutawan baru karena mereka sukses menjalankan bisnis MLM. Data menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk di Amerika Serikat kaya karena mereka sukses dari bisnis MLM, begitu pula di Malaysia. Kini jumlah MLM di Malaysia telah mencapai sekitar 2000-an dengan jumlah penduduk 20 jutaan. Tahun-tahun berikutnya diduga akan makin banyak perusahaan MLM dari Malaysia dan Negara lain akan masuk ke Indonesia.
Perusahaan MLM syariah adalah perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, dengan menggunakan konsep syariah, baik dari sistemnya maupun produk yang dijual. Pada dasarnya MLM syariah merupakan konsep jual beli yang berkembang dengan berbagai macam variasinya. Perkembangan jual beli dan variasinya ini tentu saja menuntut kehati-hatian agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan oleh syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya atau pada sistemnya. Menurut Syafei (2008:73) jual beli dalam bahasa Arab adalah ba’i yang secara etimologi berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah ba’i berarti pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang diperbolehkan. Landasannya adalah terdapat pada surat Al Baqarah ayat 275, Al Baqarah ayat 282 dan An Nisa ayat 29. Pada Al Baqarah ayat 275 Allah berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Kemudian pada surat Al Baqarah ayat 282 Allah berfirman : “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Allah SWT juga memerintahkan manusia agar mengembara di muka bumi mencari karunia (nafkah) setelah melakukan ibadah shalat. Allah SWT berfirman dalam surat Al Jumuah ayat 10 :
“Apabila telah kamu ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Pada as Sunnah Rasululah SAW pernah ditanya mengenai mata pencaharian yang paling baik. Rasul menjawab :
” Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur” (HR Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifaah ibnu Rafi’).
Kelahiran MLM Syari’ah dilatar belakangi oleh kepedulian akan kondisi perekonomian umat Islam Indonesia yang masih terpuruk. Umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, harus menggunakan kekuatan jaringan, agar pemberdayaan potensi bisnis umat Islam Indonesia, bisa diwujudkan. Pemberdayaan ekonomi kaum Muslimin, adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang harus dilakukan, sebab sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam.
Dalam MLM Syari’ah, kegiatan bisnisnya adalah penjualan atau pemasaran produk-produk Muslim yang halalan thayyiban yang dibidani oleh figur ulama dari MUI dan ICMI. Gerakan ini juga mendapat dukungan kuat dari pakar ekonomi Islam dan perguruan tinggi Islam yang mengembangkan kajian ekonomi syari’ah di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, MLM konvensional yang berkembang pesat saat ini, dimodifikasi dan disesuaikan dengan syari’ah. Aspek-aspek haram dan syubhat dihilangkan dan diganti dengan nilai-nilai ekonomi syari’ah yang berlandaskan tauhid, akhlak, hukum muamalah. Visi dan misi MLM bisa juga berbeda total dengan MLM syari’ah. MLM Syari’ah juga sangat berbeda dengan MLM konvensional yang pernah ada dan berkembang di Indonesia saat ini. Perbedaan itu terlihat dalam banyak hal, seperti perbedaan motivasi dan niat, visi, misi, prinsip, orientasi, komoditi, sistem pengelolaan, pengawasan dan sebagainya.
Motivasi dan niat dalam menjalankan MLM Syari’ah setidaknya ada empat macam. Pertama, kashbul halal wa intifa’uhu (usaha halal dan menggunakan barang-barang yang halal). Kedua, bermu’amalah secara syari’ah Islam. Ketiga, mengangkat derajat ekonomi umat. Keempat, mengutamakan produk dalam negeri.
Adapun visi MLM Syari’ah adalah mewujudkan Islam Kaffah melalui pengamalan ekonomi syari’ah. Sedangkan misinya adalah: Pertama, mengangkat derajat ekonomi umat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Kedua, meningkatkan jalinan ukhuwah Islam di seluruh dunia. Ketiga, membentuk jaringan ekonomi Islam dunia, baik jaringan produksi, distribusi, maupun konsumennya, sehingga dapat mendorong kemandirian dan kemajuan ekonomi umat. Keempat, memperkukuh ketahanan aqidah dari serbuan budaya dan idelogi yang tidak Islami. Kelima, mengantisipasi dan meningkatkan strategi menghadapi era liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Keenam, meningkatkan ketenangan batin konsumen Muslim dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.
Perusahaan MLM Syari’ah diduga prospektif dan memiliki potensi besar untuk berkembang dimasa depan. Hal ini disebabkan mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam dan MLM yang dijalankan sesuai syari’ah di Indonesia dan mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI hanya ada tiga yaitu PT Ahad-Net Internasional, PT UFO, dan PT Exer Indonesia dengan rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia No. U-299/DSN-MUI/XI/2007.
Selanjutnya dari segi fikh muamalah ada beberapa ulama yang belum berani memastikan apakah MLM dan MLM ‘syariah’ tersebut halal dan thayib. Saat ini, keberadaan Multi Level Marketing masih menjadi kontroversi bagi sebagian masyarakat ekonomi syari’ah. Berbagai alasan menjadi penyebab keraguan masyarakat akan kehalalan MLM mengingat begitu banyaknya kejadian di masyarakat yang kontroversial dimana masyarakat yang menginginkan kemakmuran, kekayaan dan kesehatan dalam waktu relative singkat dan juga terdapat beberapa kejadian-kejadian yang menarik dan mengejutkan mengenai keberadaan MLM syariah ini, maka penulis sangat tertarik untuk mendalami dan mencoba meneliti dari segi fikh muamalah. Penulis tertarik untuk memeriksa MLM ini dengan rumusan masalah : Bagaimana keberadaan MLM dilihat dari segi sisi fiqh muamalah ?






















II. MASALAH TERKAIT HUKUM ASURANSI JIWA
HUKUM MENGIKUTI ASURANSI JIWA PRUDENTIAL LIFE DALAM KACAMATA ISLAM
Bila dilihat dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi, bentuk-bentuk asuransi yang kita kenal sekarang ini umumnya masih merupakan bentuk asuransi konvensional. Lepas dari nama perusahaannya.
Kata konvensional sebenarnya sebuah penghalusan dari maksud sebenarnya. Maksud sebenarnya adalah asuransi yang tidak sesuai dengan hukum halal haram dari kacamata syariah Islam.
Asuransi konvensional adalah sebuah produk sistem perekonomian non-Islam. Sehingga kalau diukur dengan batasan-batasan syariah, harus diakui bahwa di dalamnya banyakterkandungketidak-sesuaian dengan hukum halal haram.
1. Akadnya Banyak Mengandung Gharar
Akad asuransi konvensioal banyak sekali mengandung hal-hal yang kurang pasti alias akad gharar. Maksudnya masing-masing pihak penanggung dan tertanggung tidak mengetahui secara pasti jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil, pada waktu melangsungkan akad.
Orang yang ikut asuransi ini tidak bisa mengetahui dengan pasti berapakah yang akan didapatnya dari ikut sertanya dalam sistem ini. Demikian juga, perusahaan asuransi pun tidak dapat mengetahui dengan pasti, seberapa besar akan mengambil uang dari nasabahnya. Kalau pun ada, semuanya masih berupa perkiraan atau asumsi. Padahal seharusnya akad ini merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dan apa yang akan didapat.
Dan akad yang bersifat gharar ini hukumnya diharamkan di dalam syariah Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli dengan cara gharar.
2. Akad Penundukan
Kelemahan kedua dari asuransi konvensional adaah bahwa akad tersebut adalah akad idz’an. Maksudnya akad yang merupakan penundukan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Pihak yang kuat maksudnya adalah pihak perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung. Dan pihak yang lemah adalah para nasabah atau pesertanya.
3. Mengandung Unsur Pemerasan
Dari kebanyakan kasus asuransi yang telah terjadi di tengah masyarakat, memang sering kali terjadi unsur pemerasan. Karena para nasabah atau para pemegang polis itu apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, seringkali uang premi yang sudah dibayar jadi hangus atau hilang, paling tidak akan dikurangi.
4. Mengandung Unsur ‘Penipuan’
Meski biasanya hal-hal seperti ini sudah tertulis di dalam klausul dan ditanda-tangani oleh pihak peserta asuransi, namun biasanya kurang ditonjolkan saat penawaran. Demikian juga dengan resiko-resiko buruk yang akan terjadi, umumnya disembunyikan.
Fakta di lapangan adalah bukti yang sulit dibantah, karena kasus-kasusnya memang nyata ada. Begitu banyak orang yang kemudian kapok berurusan dengan perusahaan asuransi yang cenderung tidak pernah mau berkompromi. Hanya masih ketika menawarkan di awal.
5. Diinvestasikan pada Lembaga Ribawi
Perusahaan asuransi pada hakikatnya mengumpulkan uang dari masyarakat,lalu uang itu diinvestasikan lagi kepada pihak lain. Pihak lain ini tentu saja lembaga usaha dan bisnis dengan praktek ribawi, di mana pihak asuransi akan mendapat bunga yang nominalnya sangat besar. Bunga inilah yang nanti sebagiannya menjadi uang yang akan dibayarkan kepada peserta asuransi bila ada yang melakukan klaim kepada mereka.
Titik haramnya adalah ketika perusahaan asuransi membenamkan investasinya pada perusahaan dengan cara bunga atau riba. Berarti ketika seorang muslim ikut asuransi konvensional, dia pada hakikatnya sedang melakukan transaksi pembungaan uang alias riba yang mutlak haramnya.
Asuransi yang Dibenarkan dalam Syariah
Suatu bentuk asuransi akan diperbolehkan secara syariah jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu harus terpenuhi beberapa syarat prinsip, antara lain:
1) Sistem asuransi itu harus dibangun atas dasar ta’awun , tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman, Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
2) Sistem asuransi itu tidak boleh bersifat mu’awadhoh atau akad jual beli yang menguntungkan. Tidak boleh menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi kepada keuntungan material. Yang dbolehkan hanyanya sebuah kerja sosial yang bersifat tabarru’ . Dan tabarru’ itu sama dengan hibah , oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
3) Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
4) Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
5) Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus diinvestasikan pada lembaga keuangan non ribawi. Tidak boleh dengan menggunakan sistem bunga, melainkan dengan sistem bagi hasil .
Dan untuk terpenuhinya syarat itu, dikembangkanlah asuransi syariah. Sebab pada dasrnya di dalam akad asuransi itu memang ada manfaat yang baik. Namun ada juga transaksi yang haram.
Asuransi syariah adalah sebuah upaya untuk mendapatkan manfaat asuransi tapi dengan membuang semua sisi yang haram.
Sumber Asuransi Jiwa 'Prudential Life' dalam Kacamata Islam : http://assunnah.or.id
III. SALAH TERKAIT ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR DAN HUBUNGANNYA DENGAN PEMBELIAN KENDARAAN SECARA MENGANGSUR

Asuransi Kendaraan Bermotor dan Hubungannya Dengan Pembelian Kendaraan Secara Mengangsur
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat dan dikuti oleh majunya pemikiran masyarakat dalam usaha perniagaan membuat maraknya usaha asuransi akhir-akhir ini. Hal ini dapat dipahami mengingat meningkatnya laju pembangunan di Indonesia pada berbagai sektor kehidupan, mengundang pula semakin meningkatnya risiko yang dihadapi. Risiko ini dapat timbul dalam berbagai bentuk, seperti kerusakan alat - alat, terganggunya transportasi, rusaknya proyek hasil pembangunan, kehilangan barang-barang berharga dan lain-lain. Lembaga asuransi atau pertanggungan dalam kondisi tersebut mempunyai fungsi sebagai lembaga yang akan mengambil alih setiap risiko yang mungkin timbul atau dihadapi.
Hubungan antara risiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen risiko, asuransi malah dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu risiko.
Secara sederhana dapat dijabarkan bahwa seseorang yang ingin mengalihkan risiko yang akan timbul diharuskan membayar premi kepada perusahaan asuransi, kemudian apabila risiko itu terjadi maka adalah suatu kewajiban bagi pihak asuransi untuk membayar klaim tersebut. Namun dalam prakteknya tidak sesederhana itu. Sebagai contoh adalah kasus Steven Haryanto yang telah membeli mobil secara mengangsur di sebuah show room terkenal di Jakarta, kemudian mobil yang baru dibelinya tersebut hilang dicuri sewaktu diparkir di depan rumahnya. Mobil tersebut masih dalam status diasuransikan kepada perusahaan asuransi, namun ternyata pihak asuransi menolak untuk membayar klaim dari Steven Haryanto tersebut[1].
Melihat kenyataan tersebut, banyak persoalan yang melingkupi lembaga asuransi atau pertanggungan dan banyak pula syrat yang harus dipenuhi. Dalam hal ini sebagai suatu perbandingan adalah Pembelian kendaraan bermotor secara mengangsur asuransi kendaraan bermotor dan hubungannya dengan Asuransi Kendaraan Bermotor.

B. Permasalahan

Dari contoh kasus tersebut, ada suatu hal yang menarik sekaligus menjadi suatu permasalahan yaitu ketika pihak asuransi menolak untuk membayar klaim yang diajukan oleh pembeli secara mengangsur.
1. Apakah alasan yang digunakan oleh pihak asuransi dalam menolak klaim asuransi tersebut menurut Peraturan Perundangan yang berlaku.
2. Apakah pembeli secara mengangsur dapat menuntut pihak perusahaan asuransi untuk membayar klaim.










II. PEMBAHASAN MASALAH
Pengertian Asuransi
Asuransi atau pertanggungan, di dalamnya selalu mengandung pengertian adanya suatu risiko. Risiko termaksud terjadinya adalah hukum pasti karena masih tergantung pada suatu peristiwa yang hukum pasti pula[2]. Di dalam asuransi adanya suatu pelimpahan tanggung jawab memikul beban risiko tersebut, kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan tanggung jawab[3].
Hubungan antara risiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen risiko, asuransi malah dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu risiko.
Dalam pasal 246 KUHD memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut; Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.
Jadi oleh karena asuransi atau pertanggungan itu merupakan suatu perjanjian, maka di dalamnya paling sedikit tersangkut dua pihak. Pihak yang satu adalah pihak yang seharusnya menanggung risikonya sendiri, tetapi kemudian mengalihkannya kepada pihak lain, pihak pertama ini lazim disebut sebagai tertanggung atau dengan kata lain ialah pihak yang potensial mempunyai risiko. Sedangkan pihak yang lain ialah pihak yang bersedia menerima risiko dari pihak pertama dengan menerima suatu pembayaran yang disebut premi. Pihak yang menerima risiko pihak yang satu tersebut lazim disebut sebagai penanggung (biasanya perusahaan pertanggungan/asuransi).
Kewajiban utama penanggung dalam perjanjian asuransi sebenarnya adalah memberi ganti kerugian. Meskipun demikian kewajiban memberi ganti rugi itu merupakan suatu kewajiban bersyarat atas terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang diperjanjikan yang mengakibatkan timbulnya suatu kerugian. Artinya, pelaksanaan kewajiban penanggung itu masih tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya peristiwa yang telah diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya.
Untuk sampai pada suatu keadaan dimana penanggung/perusahaan harus benar-benar memberi ganti kerugian harus dipenuhi 3 syarat berikut ini:
1. Harus terjadi peristiwa yang tidak tertentu yang diasuransikan.
2. Pihak tertanggung harus menderita kerugian.
3. Ada hubungan sebab akibat antara peristiwa dengan kerugian.
Apabila suatu kerugian terjadi sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak tertentu yang tidak diperjanjikan, maka tentu saja penanggung harus memenuhi kewajibannya untuk memberi ganti kerugian.
Meskipun demikian tidak setiap kerugian dan setiap adanya peristiwa selalu berakhir dengan pemenuhan kewajiban penanggung terhadap tertanggung, melainkan harus dalam suatu rangkaian peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan tegas memberikan kriteria dan batasan luasnya proteksi atau jaminan yang diberikannya kepada tertanggung. Kriteria dan batasan tersebut dicantumkan di dalam polis, sesuai dengan jenis asuransi yang bersangkutan. Sehingga setiap polis tercantum jenis peristiwa apa saja yang menjadi tanggung jawab penanggung. jadi apabila terjadi kerugian yang disebabkan karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan itulah penanggung akan membayar ganti kerugian.
Biasanya dalam praktek sehari-hari, polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi masih harus ditambah/diubah untuk memenuhi berbagai kebutuhan antara lain kemungkinan adanya perubahan keadaan, pemindahan tangan nama, dan sebagainya. Setiap perubahan/ penambahan, baik yang bersifat syarat / bersifat pemberitahuan harus dicatat dalam polis yang bersangkutan, agar perubahan ini dapat dianggap sah dan mengikat para pihak.

Alasan-alasan yang mendasari penolakan klaim asuransi
Dalam menangani kasus tersebut, menurut ketentuan pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), "Apabila barang-barang yang dipertanggungkan, dijual atau berpindah hak miliknya, maka pertanggungan berjalan terus guna keuntungan si pembeli atau si pemilik baru, biarpun pertanggungan itu tidak dioperkan, mengenai segala kerugian yang timbul sesudah barang tersebut mulai menjadi tanggungannya si pembeli atau si pemilik baru tadi; segala sesuatu itu kecuali apabila telah diperjanjikan hal yang sebaliknya antara si penanggung dan tertanggung yang semula.
Apabila, pada waktu barang itu dijual atau dipindahkan hak miliknya, si pembeli atau si pemilik baru menolak untuk mengoper tanggungannya, sedangkan si tertanggung yang semula masih tetap berkepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan, maka pertanggungan itu sementara tetap akan berjalan guna keuntungannya".
Dari ketentuan pasal 263 KUHD ini jika dikaitkan dengan masalah tersebut maka adalah suatu kewajaran bila perusahaan asuransi menolak klaim tersebut karena polis asuransi tersebut atas nama pihak show room mobil. Sedangkan pihak pembeli kendaraan secara mengangsur belum berhak untuk menuntut asuransi tersebut dengan alasan karena mobil itu belum berpindah kepemilikannya atas nama pihak pembeli kendaraan secara mengangsur. Hal ini bisa dimengerti karena dalam membeli mobil secara mengangsur masih harus membayar cicilan mobil tersebut. Kecuali pada saat mobil dicuri, mobil itu telah dilunasi pembayaran kreditnya yang berarti telah menjadi milik, surat-surat dan BPKB telah atas nama pihak pembeli maka pihak pembeli secara mengangsur berhak untuk menuntut asuransi tersebut.






III. KESIMPULAN

Dari pembahasan masalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Pihak perusahaan asuransi dapat menolak untuk membayar klaim pihak pembeli kendaraan secara mengangsur dengan alasan berdasarkan pasal 263 KUHD.
2. Pihak pembeli kendaraan secara mengangsur belum berhak untuk menuntut asuransi tersebut dengan alasan karena mobil itu belum berpindah kepemilikannya atas nama pihak pembeli kendaraan secara mengangsur.














DAFTAR PUSTAKA
Sri Redjeki Hartono, 1985. Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia, Penerbit IKIP, Semarang.
Tempo Inti Media. 1999. “Asuransi: Pedang Bermata Dua”, Tempo, 25 Januari 1999, hal. 93.


________________________________________
[1] “Asuransi: Pedang Bermata Dua” dalam Tempo, 25 Januari 1999.
[2] Sri Redjeki Hartono, Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia, hal. 6.
[3] Sri Redjeki Hartono, Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia, hal. 7.

1 komentar:

  1. sekarang semakin banyak dunia bisnis yang memakai sistem MLM ya,,,tapi knp???

    BalasHapus